Kau
merasa kecewa hari ini ? Kau merasa kalah hari ini? Kau merasa hidupmu tak
sehebat yang kau bayangkan? Tenanglah, hidup memang tak melulu soal kita merasa
kalah dan kecewa sesungguhnya merupakan saat-saat terkuat kita.
Kau
tak percaya? Izinkan aku bercerita.
"Tuhan,
suasana ini membuatku rindu akan kampung halaman?" Suara laki-laki yang
sejak 5 menit yang lalu menghentikan langkahnya dan berdiri mematung di sebuah
loteng lantai 4. Terpaku menatap setiap sudut alam perkotaan, menjilati lekuk
keindahan semburat lembayung fajar yang menghiasi cakrawala sebelah timur.
Walaupun
udara dingin menyapa lewat kabut tipis yang lambat laun mulai pudar, laki-laki
itu masih tertahan dengan lamunan yang entah berjalan ke depan atau ke belakang.
Inilah dia, Fajar Fadhli. Atau biasa dipanggil sebagai Fadhli.
Ya,
sejarah anak manusia yang kalah. Orang tua miskin, lingkungan miskin, tidak
memungkinkan membangkitkannya menjadi manusia pada umumnya. Inilah sosok Fajar
Fadhli yang berasal dari lereng gunung Lawu. Namun, perubahanpun dimulai.
Tiba-tiba.
“Bagus
ya fajarnya. Seperti namamu."Suara seorang lelaki yang mendadak muncul.
Sontak, Fadhli mengarahkan pandangannya ke belakang.
"Yah,
seperti namaku. Fajar Fadhli. Fajar yang utama." jawabnya sambil menatap
ke arah langit.
"Pernahkah
kau mendengar sebait kalimat yang isinya kata adalah cahaya, dan ketika cahaya
itu fajar, seluruh penciptaan mewujud. Dulu Ayahku yang memberi nama ini. Dia
berharap aku bisa seperti Fajar." lanjut Fadhli menerangkan.
"Aku
Ainul. Murid baru disini." ujarnya sambil tersenyum kecil. Wajar saja,
empat hari yang lalu adalah hari penerimaan santri baru di Pondok Pesantren
itu. Sebuah penjara suci di tengah kota Solo.
"Aku
tau. Dan kita seangkatan." Fadhli hanya menjawabnya dengan tawa lirih.
"Untuk apa kamu disini, diam dan sendiri menatap fajar itu?" sambung
Ainul sambil melangkah mendekati tempat Fadhli berdiri.
"Karena
kontour inilah yang selalu membuatku ingat dan rindu akan kampung halaman.
Rindu akan hamparan tanah pedesaan di lereng gunung lawu. Dan rindu akan
kehangatan keluarga yang tak aku dapatkan selama 3 tahun ini."
"Apakah
itu berarti bahwa rumahmu berlantai dua hingga kau dapat melihat panorama itu?" selidik
Ainul.
"Kau
salah. Bahkan rumahku lebih indah dari sebuah istana. Karna rumahku berdinding
alam, beratap langit, dan berlantai tanah. Mungkin itu pernyataan yang tepat
untuk menggambarkan suasana tempat tinggalku. Walau terkadang aku pernah
bermimpi untuk memiliki rumah berlantai dua, tapi aku enggan untuk memaksakan
kedua orang tuaku melakukan itu. Maklum saja bapakku hanya seorang penjual sawo
keliling dan ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga." jelas Fadhli dengan
nada memelas.
“Oh!
Dengan alasan apa kau bisa sampai di Pondok ini. Sedangkan orang tuamu serba
kekurangan, padahal biaya untuk bisa nyantri di Pondok ini saja cukup menguras
kantong begitu dalam.” Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Fadhli. Suasana
kembali hening. Dua insan ini saling mematung menatap lurus ke arah Timur.
Sejenak, Fadhli terhanyut dalam lamunan tentang masa lalunya. Masa lalu yang
payah.
Pukul
06.30. Lelaki itu kembali memikul dagangannya; dua keranjang besar yang
dipenuhi puluhan buah sawo. Bayang-bayang pohon sudah lebih panjang dari
dirinya sendiri. Jam dinding di sebuah toko yang baru saja dia lewati
menggambarkan bahwa waktu beranjak senja. 14.28, tujuh jam lebih sejak kali
pertama lelaki paruh baya itu menginjakkan kaki di seberang pintu rumahnya pagi
tadi. Sesiang ini, tak satu buah sawo pun terjual. Dia menyusuri jalan-jalan
memasuki liang-liang gang yang sempit dan didapati rumah-rumah penduduk sambil
terus berteriak menjajakan dagangannya. “sawo….sawo….sawo….”
Tak
seorang pun menyahut. Tak seorang pun memanggil untuk berhenti. Di gang sempit,
orang-orang hanya memandang lelaki itu sekilas, seperi berkata pada diri mereka
sendiri, “Oh, ada tukang sawo lewat.” Lalu kembali sibuk dengan aktivitas
mereka masing-masing. Seorang Ibu muda sedang menyuapi anak perempuannya.
Pemuda gondrong sibuk mencuci motor barunya, anak-anak kecil berlarian sambil
tertawa. Sementara lelaki itu, sang penjual sawo, terus berjalan menjemput
rejeki yang entah bersembunyi dimana. “Sawo…sawo…sawo….” Dan masih saja tak
seorang pun memanggilnya untuk berhenti sekedar tertarik pada pisang dagangannya.
Sementara
detik-detik terus berguguran di sepanjang langkahnya yang berat, lelaki paruh
baya penjual sawo mulai merasakan lapar yang melilit di perutnya. Ia berhenti
sejenak di persimpangan jalan, tepat menghadap masjid yang sedang
mengumandangkan adzan. Kemudian, lelaki penjual pisang menarik napas panjang,
mengusap keringat, lantas meneruskan langkah ke muka masjid. Ashar telah tiba
dan dia berniat mengistirahatkan tungkai kakinya yang lelah sambil menunaikan
Ashar bagi Tuhannya.
Usai
sholat, sang penjual pisang duduk di pelataran masjid menghadap keranjang
dagangannya. Lapar masih melilit perutnya.
“Berapa
sawonya?” suara berat seseorang memecahkan kristal lamunannya. Lelaki tambun
dengan kantung plastik hitam di tangan kanannya.
“Eh,
sekilo tujuh ribu, Pak.”
“Lima
ribu, ya?” Lelaki penjual pisang berpikir sejenak. “Kalau enam ribu tidak
apa-apa, Pak. Ambil saja. Kalau lima ribu belum bisa.” Dia tersenyum ramah.
“Ya
sudah, saya beli dua kilo yang ini.” Lelaki tambun mengambil sawo pilihannya.
Dengan cekatan, lelaki itu memasukkan dua kilo sawo ke dalam kantung plastik
hitam. “Ini, Pak.” katanya setelah selesai.
“Ini
uangnya, kembaliannya ambil saja.” kata lelaki tambun itu.
Penjual
pisang berdebar. Sedetik napasnya tertahan.
“Wah,
terima kasih banyak, pak. Semoga rezeki Bapak lancar dan dimudahkan…”
“Amin,”
jawab lelaki tambun itu, pendek, sambil tersenyum lalu pergi.
Penjual
sawo mengipas-kipaskan dua lembar uang sepuluh ribu rupiah di atas sawo
dagangannya. Dia berharap uang itu bisa menular, semacam mantra, sihir pedagang
yang bisa mengubah sawo jadi uang. Barang kali.
Tak
pernah ada nestapa yang tak berkesudahan. Hidup selalu punya caranya untuk
melubangi kebuntuan.
Lelaki
penuh baya penjual pisang tiba di sebuah sudut perkampungan. Di sana beberapa
pedagang sedang berkumpul; penjual mie ayam, gulali, dan buku-buku bekas. Dia
segera bergabung seperti bertemu saudara sendiri. Mereka menyambut lelaki
penjual sawo dengan penuh kehangatan dan keramaham.
“Sudah
makan belum?” kata penjual mie ayam pada lelaki penjual sawo.
“Belum,”
jawab lelaki penjual sawo singkat.
“Barter
karo sawo sekilo, yo? Tak kasih semangkuk jumbo mie ayam spesial! Gimana?”
“Boleh…boleh…”
kata lelaki penjual sawo antusias. Penjual mie ayam tersenyum mengacungkan
jempolnya, mengangkat kedua alisnya.
07.39
selepas Isya’, lelaki penjual sawo sudah sampai di rumah kontrakan kecilnya.
Anak-anak dan isterinya sudah menunggu untuk makan malam seadanya, tumis
kangkung dan tempe goreng.
Istri
dan anak mencium tangannya. Lelaki itu tersenyum.
“Bu,
hari ini sawonya laku empat kilo. Yang satu kilo ditukar mie ayam dan satu kilo
lagi ditukar komik. Ini uang untuk belanja besok.” Lelaki itu menyodorkan dua
lembar ribuan dan selembar sepuluh ribu.
“Dan
ini komik Naruto yang Fadhli pengen sejak dua bulan yang lalu bukan? Ini hadiah
untuk Fadhli karena berhasil lulus SMP.” sambungnya sambil mengeluarkan dua
komik itu.
“Makasih
Pak. Tapi maaf, Fadhli belum bisa memberi Bapak hadiah atas usaha Bapak menjadi
superhero untukku dan Ibu.” Dan Fadhli berlalu dengan tawa kecilnya.
Tiba-tiba.
Bresss. Hujan turun dengan sangat derasnya. Menurunkan jutaan debit air tanpa
jeda. Sontak, Fadhli bergegas keluar kamar untuk mengambil sepatu kumuh yang
masih tertinggal di teras rumah. Namun langkahnya terhenti menemukan kedua
orang tuanya bercakap di ruang tamu. Ia mendelik di samping meja kayu yang
telah berusia belasan tahun itu.
“Bu,
bagaimana dengan rencana kita untuk menyekolahkan Fadhli di tingkat SMA? Bapak
sih pengen banget Fadhli bisa melanjutkan SMA nya di Pondok Pesantren Salafiyah
Solo.”
“Tapi
Pak, Ibu kurang setuju.”
“Kenapa
Bu?”
“Pak,
Pondok Pesantren itu mahal. Darimana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu?
Hasil jual sawo saja hanya cukup untuk makan.”
“Kita
berdo’a saja Bu, supaya dikasih rezeki yang cukup.” Sejak saat itu, keinginan
dan tujuan Fadhli berubah. Kali ini, pikirannya benar-benar vacum.
Dengan
tekat kuat, ia mendekati kedua orang tuanya. Ia menatap tajam sorot mata Bapak
dan Ibunya.
“Ayah,
Ibu, besok aku mau ke Solo. Aku mau mencari ilmu disana.” Ujar Fadhli dengan
nada lirih. Kedua orang tuanya saling tatap seakan tak mengerti apa tujuan
Fadhli kali ini. Mereka tampak terkejut.
“Kamu
mau tinggal dimana? Sama siapa? Dan kamu mau sekolah dimana Dhli?” desak
laki-laki rentang itu.
“Pak,
tenanglah. Aku sudah cukup dewasa. Aku sudah 17 tahun. Aku akan baik-baik saja.
” Sahut Fadhli meyakinkan.
Malam
kian larut. Hawa dingin semakin terasa. Bulan tidak terlihat. Hanya desah angin
yang terdengar bergemuruh di kejauhan. Situasi ini membuat Fadhli harus
memejamkan mata. Di bawah lampu pijar 10 watt yang terus menyala, Fadhli
terhanyut dalam dekapan sang malam. Dan suasana kembali sunyi.
Menit
berganti jam. Jam berganti hari. Itulah selayaknya waktu berjalan. Sembilan jam
Fadhli mengarungi alam mimpi.
Pukul
05.30, kabut tebal masih menyelimuti pagi itu. Namun hal itu bukanlah
penghalang bagi keluarga Fadhli untuk melakukan aktivitas seperti biasanya.
Tapi hari ini tampak berbeda. Ayah yang biasanya bersiap dengan pisangnya, kali
ini hanya duduk di teras rumah bersama Ibunya seusai menyiapkan sarapan. Dan
Fadhli, ia masih tertahan di kamarnya bersama tas ransel hitam, 3 helai baju
dan barang-barang lain yang akan ia bawa untuk menapakkan kakinya menuju Solo
demi mencari sebongkang ilmu di Pondok Pesantren Salafiyah.
Selang
30 menit, Fadhli telah bersiap di depan pintu. Tersirat diwajahnya kekhawatiran
khas seorang Ibu pada anaknya. Tiba-tiba Bapaknya menyodorkan uang Rp. 40.000
dan dua kantung plastic berisikan sawo padanya.
Di
muka pintu, seolah ada yang tertahan. Fadhli berhenti sejenak sebelum pergi.
Fadhli menengok ke arah ibunya, seolah-olah ingin meyakinkan padanya bahwa ia
akan baik-baik saja. Ia tersenyum, lalu pergi.
Ia
mulai menjejakkan kakinya di tanah yang basah. Dua hari sudah Fadhli berjalan
dan menaiki bus kota. Nampaknya, ia harus bertanya dan bertanya kepada belasan
orang yang ia temui di sepanjang perjalanan. Mencari dimana lokasi Pondok
Pesantren Salafiah itu berada. Ia berjalan dengan penuh kepayahan, dan rasa
letih itu sirna sesaat setelah menatap gedung yang menjulang tinggi di
hadapannya. Dia berwarna hijau muda dan terkesan sebagai gedung peninggalan
Belanda.
Fadhli
berjalan melewati pintu masuk yang masih terbuka lebar. Sepi. Ia terus
melangkah memasuki pekarangan Pondok. Di sebelah kiri pintu masuk terdapat
madding yang dipasangi lampu. Di sana terlihat beragam info yang berkaitan
dengan Pondok itu. Tak tampak seorang
pun di halaman tersebut. Tapi lampunya terlihat menyala. Pasti ada orang
didalam. Ia mendekati sebuah ruangan.
“Assalamu’alaikum!
Permisi!” setengah berteriak Fadhli mengucapkan salam.
Sesaat
kemudian pintu terbuka. Seorang laki-laki berusia kira-kira 30 tahun keluar
dari dalam pintu. Berbagai pertanyaan mulai ia lontarkan. Mereka memperkenalkan
diri. Sekarang Fadhli tau lelaki itu adalah Kyai sekaligus Pengurus Pondok ini.
Mulai
detik itulah Fadhli tinggal di Pondok itu tanpa biaya yang mengikatnya dengan
syarat ia harus mendapat nilai baik, tidak melanggar peraturan pondok, dan
dalam waktu 3 tahun ia harus mampu menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dengan sigap ia
menerima persyaratan itu. Mengingat keadaan dan keinginan Bapaknya yang sudah
mulai renta.
Namun,
tak semudah itu Fadhli mampu melewati berbagai rintangan yang berada di
hadapannya. Tak jarang ia harus mencari rongsokan untuk ia jual di tukang loak.
Tak jarang pula ia memakan makanan sisa dari temannya dan tak jarang pula ia
harus melakukan hal yang menurut orang lain menjijikkan. Hal yang tak pernah
Fadhli lupakan.
“Dan
sekarang? Kamu telah menjadi orang hebat.” kata Ainul mendengar keluh kesah
masa lalu Fadhli yang telah panjang lebar ia ceritakan. Ia hanya membalasnya
dengan senyuman.
“Sudah
jam 07.30. Acara syukuran untuk memperingati keberhasilanmu hampir dimulai.
Yah, keberhasilanmu dalam menghafal Al-Qur’an.”
“Aku
hanya ingin menempatkan Ibu dan Ayahku di singgasana surga. Melihatnya
tersenyum dan memakai mahkota. Itulah cita-citaku selama ini.” mereka saling
tatap. Tiba-tiba
“Fadhli….”
Suara berat seorang laki-laki dan perempuan paruh baya di belakangnya. Sontak,
mereka menengok ke asal suara itu.
“Bapak,
Ibu…” ujar Fadhli segera memeluk Ibu dan Bapaknya. Air bening mulai beranak
sungai di pipi mereka. Perasaan haru menyelimuti loteng pagi itu.
“Ibu,
Bapak, Fadhli baik-baik saja. Dan ini hadiah untuk Bapak dan Ibu yang telah aku
janjikan tiga tahun yang lalu. Meskipun Bapak dan Ibu tak bisa menyentuh hadiah
ini, tapi di akhirat nanti, aku ingin melihat Bapak dan Ibu tinggal di Istana,
memakai mahkota dan tersenyum untukku.” terang Fadhli lagi.
“Terimakasih
Nak. Kau telah membuat Bapak dan Ibu bangga padamu. Kau hebat.”
Mereka
saling melempar senyum dan mulai meninggalkan tempat itu. Namun sebelumnya
Fadhli terhenti dan menatap tajam wajah Ainul yang masih tertahan di tempat
semula.
“Ainul ingatlah. Kadang-kadang seseorang harus
memulai hidup dengan cara yang kurang membahagiakan. Tetapi tugas kita adalah
berjuang dan berusaha, menciptakan kebahagiaan kita sendiri hingga kita
mendapatkannya. Jika kau terlahir dalam kemiskinan dan penderitaan, itu bukan
salahmu. Tetapi jika kau mati dalam kemiskinan dan penderitaan, itu salahmu.
Karena waktu tak pernah menyediakan kesia-siaan bagi mereka yang brjuang dan
bekerja keras.”