Jumat, 21 Juni 2013

puisi-Sudah Saatnya Belenggu Ini Hancur



Di publikasikan oleh : intan nur k
KARYA TANPA NAMA (unknown author)
Dia selalu gelisah,
Terpenjara di antara dinding yang basah,
Penuh dengan sikap pasif yang membawa resah,

Tapi dia bangkit cepat,
Tidak percaya dengan kunci yang lambat,
Dan melemparnya kuat-kuat
Lalu melangkah sepenuh tekad

Maka terjadilah perubahan hebat
Yang memancarkan sinar keinginan kuat
Hingga mampu menghancurkan pintu yang rapat

Diapun keluar dari penjara,
Menuju mayapada, cahaya,
Dan semesta yang luasnya tak terkira,
Lalu berteriak sepenuh suara,

Inilah jalan ke puncak
Yang belum pernah aku tapak
Tapi, harus seger ku jejak

Sekeras apapun omongan dari kawan-kawan,
Sehebat apapun derita yang menghadang di tengah jalan,
Atau meski orang-orang meragukan,
Dan angin utara datang melawan,
Aku akan naik ke puncak awan,
Meninggalkan pandangan sempit dan kerendahan,
Untuk berjalan sesuai aturan Tuhan,
Mewujudkan pribadi yang menawan,
Dan berkreasi dalam kehidupan.

Kamis, 20 Juni 2013

CERITA INSPIRATIF= ANJING dan SERIBU CERMIN, KEDAMAIAN, THE FROG, LUBANG HATI



Di publikasi oleh : Intan Nur K
KARYA TANPA NAMA (Unknown Author)


            Suatu hari seekor anjing memasuki rumah 1000 cermin. Sesampainya disana, ia melihat ribuan anjing. Di saat ia tersenyum, anjing itu membalasnya dengan senyuman. Kemudia ia melompat, dan anjing-anjing itu melaukan hal yang demikian. Seperti halnya ketika seorang anak mendaki gunung, ia berteriak “aku disini” tiba-tiba terdengar suara menirukan dari suatu arah di gunung.
            Merasa takjub dengan suara gema itu, ia kembali berkata “aku menyukaimu!”, suara itu berkata “aku mnyukaimu”.
Demikian kehidupan itu, kehidupan akan memberikan kembali segala yang kau katakan dan lakukan. Kehidupan kita ini hanyalah pantulan dari perilaku kita, jika kau menginginkan cinta, maka ciptakanlah cinta lebih hanya di hatimu.

Suatu hari, seorang raja menawarkan hadiah yang berlimpah kepada orang yang dapat melukiskan kedamaian.
Pelukis pertama menggambarkan danau yang indah daan gunung-gunung nan teduh di sekelilingnya. Dan lukisan yaang kedua, menggambarkan badai yang ganas dengan hujan deras dan sungai yang mengalir deras. Meski demikian, raja hanya melihat induk burung bersama anak-anaknya bersarang di celah batu, terlindungi oleh dahan pohon cemara.
Kemudian raja berkata “kedamaian tidak berarti harus di dapat di lingkungan yang menyenangkan. Kedamaian adalah ketenangan di hati di tengah badai kehidupan dan lukisan inilah yang selama ini ia cari.”

Suatu hari ada sekelompok kodok yang akan menembus hutan. Tiba-tiba ada dua kodok terjatuh dalam lubang yang dalam. Sementara teman-teman yang lain menggerumuni lubang itu dan terus berkata “kalian tidak akan pernah bisa keluar, kalian akan mati.” Sampai akhirnya kodok yang pertama mati. Sementara kodok yang kedua, ia tuli. Namun, ia terus berusaha untuk melompat tinggi. Sampai akhirnya ia dapat keluar dari lubang. Kodok itu mengira teman-temannya memberi semangat untuknya, jadi :
1.      Ucapan semangat pada seseorang yang sedang putus asa dapat membangkitkan semangat orang itu dan membuatnyaa mampu menjalani hari-hari yang sulit.
2.      Ucapan destruktif kepada orang yang sedang putus asa dapat mematikannya. Karena itu, hati-hati dengan ucapanmu.

Dahulu, ada seorang gadis yang memiliki watak buruk.  Lalu ibunya menyuruhnya untuk menancapkan paku ke pagar setiap ia marah. “jika kamu sudah bisa mengendalikan emosimu, cabutlah paku dari pagar itu.” setelah semua paku itu telah tercabut, ibunya kembali berkata “kau telah berperilaku baik. Tapi lihatlah lubang di pagar itu, tak pernah sama seperti dahulu. Swaktu kau marah-marah, kata-katamu menyebabkan lubang persis di pagar ini.”
Kau dapat menancapkan pisau ke tubuh seseorang dan banyak kata maaf yang kau ucapkan, tapi luka itu akan tetap ada di situ. Luka karna lisanmu, sepedih luka tusukanmu
***Kau adalah sahabatku, dan aku merasa terhormat memiliki teman sepertimu. Tolong maafkan aku telah meninggalkan lubang di pagar hatimu.

Selasa, 11 Juni 2013

saksi bisu



SAKSI BISU

            Disini dan sendiri, inilah aku. Kesepianpun datang menghampiriku. Membawa sejuta berita bahwa aku memang sendiri. Tapi tidak. Laki-laki itu datang menghampiriku. Mengubah duniaku yang selama ini hambar menjadi lebih berbinar.
            Perlahan dia mendekatiku. Menyusuri setiap lorong rumah kos. Menjamah setiap tangga untuk menuju lantai 3. Tempat aku dan Tomi dipertemukan. Hingga dia menyentuhku bersama tangannya yang masih terlihat kokoh, dilapisi kulit dengan warna putih langsat. Dipadu dengan baju putih dan celana pensil yang sedang ngetrend akhir-akhir ini.
            Entah karena alasan apa dia datang ke kos lebih awal dari biasanya. Karena aku ? Itu sungguh mustahil. Walaupun aku yang sesungguhnya lebih setia menunggunya disini. Berdiri kokoh tanpa suara. Diam seribu bahasa. dulu, kini bahkan selamanya. Aku akan tetap disini.
            Kali ini kau datang dengan wajah sumringah. Namun kau terlihat letih hingga kau meninggalkanku tanpa pesan dan tanpa suara. Tiga jam sudah aku menunggumu terbangun dari tidur panjang, tersadar dari mimpi indahmu.
            Kau berfikir sejenak dan sesekali memfokuskan pandanganmu lurus dipojok bawah sana. Tepat didepan pintu kos putri yang letaknya hanya 50 langkah dari tempat Tomi berdiri saat ini. Disitulah kau beranangan-angan dengan harapan seorang gadis mungil tersenyum kecil untukmu. Dan dia datang. Samar-samar aku melihat gadis itu. Seperti yang kau harapkan, dia tersenyum lebar dan melambaikan tangannya.
            “Tomi....” Suara gadis itu memanggilmu. Gadis yang telah lima menit lalu berdiri dipojok sana. Dan wajahmu terlihat 1000 kali lebih bahagia dari biasanya.
            “Niki...Imiss you” Jawabmu dengan suara lantang.
            Apakah ini yang manusia sebut sebagai CINTA ? Entahlah, jujur saja aku cemburu dengan semua ini. Karena aku yang lebih lama disini. Aku lebih lama bersamamu. Sangat lama. Berbulan-bulan, bertahun-tahun atau bahkan selamanya.
            Sering aku harus bertahan ditengah hantaman badai yang menderam. Disela derasnya hujan yang mendendam dan diantara terik matahari yang membakar. Karena aku harus melindungimu,memberikan sebuah kehangatan untukmu. Bahkan saat kau bertatap muka bersama Niki. Seorang gadis yang telah kau pilih untuk mengisi kekosongan hatimu. Meskipun hampir tiga tahun sudah kau satu kelas dengannya. Hingga detik ini, di ruang 12 IPA 1 SMA 8 Surakarta. Namun kau harus tahu, akulah yang lebih dulu mengenalmu. Mengenal Tomi El-Fathan.
            Dengan jelas aku melihatmu saling tatap muka bersamanya. Walaupun kalian bungkam, tapi aku tahu jelas bahwa  hati kalian saling bercakap. Tiba-tiba, kau menggerakkan jemarimu dengan perlahan. Isyarat singkat yang bermakna “I LOVE YOU”. Gadis itu kembali tertawa lebar.
            “Aku menunggumu di pohon cinta.” Teriak Niki mengajak. Sontak Tomipun salting mendengar ungkapan itu. Dan menjawabnya dengan anggukan kepala. Tanpa pikir panjang, Tomi dan Niki segera mengakhiri pertemuan itu dengan lambaian tangan yang kemudian brlalu begitu saja.
            Andai aku adalah Niki, mungkin aku adalah orang paling beruntung di kos ini, dinegara ini  atau bahkan di planet ini. Tapi sayangnya tidak. Untuk merasakan cintapun aku tak mampu. Apalagi memilikimu. Memiliki ketulusan hatimu.
            Dengan perlahan, Tomi dan Niki menginjakkan kakinya di atas permukaan bumi. Kurang dari 30 menit, mereka bertemu disebuah pohon besar dipinggir trotoar. Ditempat itulah mereka saling bercakap dan merajut sejuta kenangan indah yang akan mereka simpan selamanya.
            Demi mengobati rasa rindu yang telah lama Niki pendam, ia menyandarkan kepalanya diatas pundak Tomi yang masih kokoh itu. Dilihatnya ratusan mobil yang sedari tadi berlalu lalang dihadapannya
“Rasanya sudah berabad-abad aku gak ketemu kamu Tom !” Kata niki manja.
“Aku merasakan hal yang sama. Andai waktu berhenti saat ini dan selamanya Nik. Aku akan merasa sangat bahagia karena aku akan berada disampingmu selamanya.” Rayu Tomi. Niki hanya membalas ucapan itu dengan sebuah senyuman kecil sambil melirik wajah kekasihnya yang eksotik itu.
Nyaman dan tenang. Itulah keadaan yang sedang mereka berdua rasakan. Suasana hening sejenak. Hingga Tomi memulai percakapan hari itu dengan ribuah rayuan gombal. Karena ia hanya ingin melihat Niki kembali tersenyum.
“Nik, kamu tau gak, kemaren tuh aku ngitung bintang ternyata jumlahnya 1000. Tapi semalem bintangnya tinggal 999.”
“Trus yang satu kemana ?” Tanya Niki penasaran.
“Nih, yang satu lagi dideketku.”
“Ih....kamu tuh pinter banget kalau di suruh gombal.”
“Biarin wek. Yang penting, sekarang kamu dah tersenyum. Aku seneng liat kamu senyum and ketawa Nik.” Ucap Tomi seraya menatap tajam setiap garis diwajah Niki. Huh.....Dasar cowok, tak pernah luput dari kata-kata gombal yang tak terjamin kebenarannya.
Detik berganti detik, jam berganti jam. Itulah selayaknya waktu berjalan. Hari ini, keadaan sudah mulai ramai. Penghuni kos mulai beraktifitas seperti biasa. Seperti keadaan 2 minggu yang lalu. Tepat sebelum liburan.
Jarum jam menunjukkan angka 15.30. seperti biasa, aku melihat kedua insan yang sedang dirundung cinta itu saling bertatap seusai pulang dari sekolah. Lalu melambaikan tangan dan keduanya berlalu begitu saja.
Namu sore ini sangat berbeda. Niki tidak melakukan rutinitas yang biasa ia lakukan setiap sore. Mendadak ia memalingkan mukanya dan memiringkan bibirnya dari pandangan Tomi yang sejak dua menit yang lalu menunggunya didepan pintu. Sontak, Tomipun kaget bercampur khawatir tentang keadaan Niki saat ini.
15 menit telah berlalu. Namun Tomi masih menunggunya tepat didepanku. Tanpa sengaja aku melihat Niki mengintip dibalik kaca jendela. Dia menitihkan air mata seraya mengingat tragedi siang tadi di sekolah. Sementara Tomi, dia hanya termenung dengan wajah pucat. Dan keduanya berlalu dengan sebuah tangisan.
“Ada masalah ?” Suara Danu memecah lamunan Tomi. Mereka adalah sahabat. Sangat dekat.
“Niki. Dia terlihat berbeda hari ini. Garis wajagnya mengusut dan sesekali dia memalingkan wajahnya dari pandanganku.entah karena alasan apa dia berubah. Yang aku, aku ingin dia tetep tersenyum Dan.” Jawab Tomi menjelaskan.
Tomi tampak lesu hari ini. Andai aku bisa bicara, aku akan menghiburnya. Dan andai saja aku bisa bergerak, aku akan menghapus air mata yang sudah beranak sungai dipipinya.. dia tampak sedang ada masalah dengan Niki. Walau akupun juga tak mengerti alasan apa yang membuat Niki seperti itu. Tomi dan Danu masih betah bercakap di depanku. Bahkan Tomi menyandarkan kepalanya tepat di tubuhku. Manusia yang malang.
Pukul 23.30. Tomi berniat menuruti kehendak matanya untuk terpejam, hati laki-laki itu seakan brontak. Setiap kali ia mencoba membuka mata, bayangan tentang Niki terus terngiang. Ia menghela napas panjang. Hingga kejadian 10 jam yang lalu lambat laun mulai teringat. Kejadian ketika ia berniat menyampaikan pesan temannya kepada April. Salah satu temn dekat Niki. Maklum saja, sebelumnya Tomi tak memberitahu tentang ini kepada Niki. Bahkan, pertemuan itu terlihat cukup romantis. Bagaimana Niki tidak cemburu, melihat kekasihnya bersama teman deatnya sendiri. Dan itu tepat dihadapannya. Kejadian itu sontak membuat Niki ketakutan dan mulai menitihkan air mata. Sejak saat itulah Niki menunjukkan sikap anehnya.
“mungkin itu yang membuat Niki marah. Besok aku harus ngomong ke Niki.” Batinnya yang telah menemukan jalan keluar. Bersama jarum jam yang terus berputar, Tomipun mulai terlelap dalam dekapan sang malam.
Srakk... Suara Danu menarik korden jendela.. mentaripun menembus celah kamar dan seolah mengobral murah sinarnya pada seluruh mahluk yang ada disana.
Tomi segera terbangun dari malam harunya.
“Tom, cepet bangun and berangkat. Trus temui Niki.” Teriak Danu dari pintu kamar mandi. Tmipun sesegera mungkin bersiap-siap dan berlalu dalam hitungan detik.
Hampir satu setengah jam Tomi duduk didalam kelas. Termenung begitu lama. Menunggu seorang gadis muncul dari balik pintu kelas. Sembari ia menyusun kata-kata manis yang akan ia lontarkan kepada Niki.
Dan saat itu tiba.
“Nik.....” sapa Tomi dengan wajah melas.
“Apa sih ?”Jawab Niki dengan senyu kecilnya.Nampaknya ia sudah melupakan kejadian kemarin.
“Kamu kenapa ? Jangan cemburu. Aku Cuma nyampein pesen dari Danu buat April.”kata Tomi menjelaskan.
Bagaimana Tomi bisa tau kalau aku cemburu ? Akukan gak bilang apa-apa ke dia. Tapi syukurlah, dia bisa mengerti perasaanku sebelum aku mengungkapkan itu. Batin Niki yang penuh dengan pertanyaan.
“Nik... percayalah.” Nikipun tersenyum lebar menatap mata Tomi yang hanya hanya 5 cm dari wajahnya.
“Biarin. Kamu nyebelin.” Celetuk Niki manja. Dan keduanya saling tertawa panjang.
“Nik, kalau kamu beneran sayang sama aku, aku pengen kamu buktiin” Ujar Tomi dengan suara yang mulai lirih.
“Apa ?”
Aku pengen sehari besok kita gak ketemu dan kita gak saling menatap. Berani gak ?”   
“Siapa takut !” jawab Niki semangat.
“Dan satu lagi, surat ini hanya boleh kamu buka jika kamu sudah melewati satu hari itu. Pokoknya kamu gak boleh melanggar perjanjian ini kalau kamu bener suka sama aku.” Kata danu sambil menyerahka amplop merah muda yang ia tulis semalam suntuk.
...
Tak terasa satu hari telah Niki lalui tanpa bertemu dan tanpa bertatap muka dengan Tomi. Bahkan Niki telah bosan menatap 3 buah jarum jam yang terus berputar pada porosnya. Tiba- tiba Niki teringat pada surat yang di berikan Tomi satu hari yang lalu. Tanpa pikir panjang ia segera mebaca surat yang masih tersimpan rapi dalam lemarinya.
“Dear Niki
Kamu berhasil Nik. Kamu hebat. Dan aku pengen kamu kamu lakuin itu setiap hari. Sebelumnya Aku minta maaf Nik, aku dan keluargaku akan pindah rumah di Lampung. Di tempat kelahiran ayahku. Aku tak pernah punya maksud untuk meninggalkanmu atau menipumu, karena aku akan jadi Matahari untuk bintang kecilku ini, meski terhalang oleh awan, tapi dia tak akan pernah pergi dan akan setia menunggu dan menyinari bintang itu, yaitu kamu. Dan aku mau kamu tetap tersenyum, seperti bintang yang tak pernah redup. Cuma itu adalah syarat terakhirku. Niki, i’m so sorry that i hurt you but i love you.
Salam manis,
Tomi El-Fathan ”
Surat itu membuat dada Niki semakin sesak. Bagai pisau belati yang tertancap di ulu hati. Sakit. Perih.
 Tepat pukul 15.30. Seperti biasa. dari kejauhan, aku melihat sosok laki-laki yang tak asing lagi di mataku. Dia Tomi. Secepat kilat dia berlari menembus setiap teras kamar,menyusuri puluhan anak tangga bahkan menerjang pagar besi yang telah lama berdiri disitu.
Dengan sigap, Tomi menatap lurus kebawah, berharap seseorang yang ia nanti segera muncul dari balik pintu. Aku melihat gadis itu telah berdiri tegak sambil mencondongkan wajahnya kearahku. Tepatnya kearah kamar Tomi. Wanita dan laki-laki itu tampak pucat, dan keduanya saling tertegun. .  Tiba-tiba......
Bress.....Hujan turun dengan begitu derasnya. Menjatuhkan ratusan debit air tanpa jeda. Tapi tidak, hujan tidak akan memisahkan mereka. Ketika bibir mulai mengeras, kerongkongan mulai mengering dan kata tak mampu lagi terucap, kini hanya air yang lambat laun beranak sungai dipipi. Mereka menangis mengadu hati mengenaskan. Bersama ransel hitam yang sedari tadi ia pegang, Tomi mulai beranjak pergi meninggalkan siluet yang masih terlihat jelas di benak Niki. Dia mulai menghilang. Jauh. Sunyi. .
 Betapa beratnya Niki melepas kepergian Tomi. Sebuah cinta yang kuharap akan selamanya. Walaupun akulah yang lebih setia menunggumu disini. Menyimpan sejuta kenangan indahmu bersama Niki. Meskipun aku tau kau tak akan pernah menganggapku saksimu atau bahkan sekedar mengingatku. Karna aku hanyalah sebuah PINTU.
saksi bisu 
...

Singgasana untuk Ayah Bunda



                                   singgasana untuk ayah bunda
            Kau merasa kecewa hari ini ? Kau merasa kalah hari ini? Kau merasa hidupmu tak sehebat yang kau bayangkan? Tenanglah, hidup memang tak melulu soal kita merasa kalah dan kecewa sesungguhnya merupakan saat-saat terkuat kita.
Kau tak percaya? Izinkan aku bercerita.
"Tuhan, suasana ini membuatku rindu akan kampung halaman?" Suara laki-laki yang sejak 5 menit yang lalu menghentikan langkahnya dan berdiri mematung di sebuah loteng lantai 4. Terpaku menatap setiap sudut alam perkotaan, menjilati lekuk keindahan semburat lembayung fajar yang menghiasi cakrawala sebelah timur.
Walaupun udara dingin menyapa lewat kabut tipis yang lambat laun mulai pudar, laki-laki itu masih tertahan dengan lamunan yang entah berjalan ke depan atau ke belakang. Inilah dia, Fajar Fadhli. Atau biasa dipanggil sebagai Fadhli.
Ya, sejarah anak manusia yang kalah. Orang tua miskin, lingkungan miskin, tidak memungkinkan membangkitkannya menjadi manusia pada umumnya. Inilah sosok Fajar Fadhli yang berasal dari lereng gunung Lawu. Namun, perubahanpun dimulai. Tiba-tiba.
“Bagus ya fajarnya. Seperti namamu."Suara seorang lelaki yang mendadak muncul. Sontak, Fadhli mengarahkan pandangannya ke belakang.
"Yah, seperti namaku. Fajar Fadhli. Fajar yang utama." jawabnya sambil menatap ke arah langit.
"Pernahkah kau mendengar sebait kalimat yang isinya kata adalah cahaya, dan ketika cahaya itu fajar, seluruh penciptaan mewujud. Dulu Ayahku yang memberi nama ini. Dia berharap aku bisa seperti Fajar." lanjut Fadhli menerangkan.
"Aku Ainul. Murid baru disini." ujarnya sambil tersenyum kecil. Wajar saja, empat hari yang lalu adalah hari penerimaan santri baru di Pondok Pesantren itu. Sebuah penjara suci di tengah kota Solo.
"Aku tau. Dan kita seangkatan." Fadhli hanya menjawabnya dengan tawa lirih. "Untuk apa kamu disini, diam dan sendiri menatap fajar itu?" sambung Ainul sambil melangkah mendekati tempat Fadhli berdiri.
"Karena kontour inilah yang selalu membuatku ingat dan rindu akan kampung halaman. Rindu akan hamparan tanah pedesaan di lereng gunung lawu. Dan rindu akan kehangatan keluarga yang tak aku dapatkan selama 3 tahun ini."
"Apakah itu berarti bahwa rumahmu berlantai dua hingga kau  dapat melihat panorama itu?" selidik Ainul.
"Kau salah. Bahkan rumahku lebih indah dari sebuah istana. Karna rumahku berdinding alam, beratap langit, dan berlantai tanah. Mungkin itu pernyataan yang tepat untuk menggambarkan suasana tempat tinggalku. Walau terkadang aku pernah bermimpi untuk memiliki rumah berlantai dua, tapi aku enggan untuk memaksakan kedua orang tuaku melakukan itu. Maklum saja bapakku hanya seorang penjual sawo keliling dan ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga." jelas Fadhli dengan nada memelas.
“Oh! Dengan alasan apa kau bisa sampai di Pondok ini. Sedangkan orang tuamu serba kekurangan, padahal biaya untuk bisa nyantri di Pondok ini saja cukup menguras kantong begitu dalam.” Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Fadhli. Suasana kembali hening. Dua insan ini saling mematung menatap lurus ke arah Timur. Sejenak, Fadhli terhanyut dalam lamunan tentang masa lalunya. Masa lalu yang payah.
Pukul 06.30. Lelaki itu kembali memikul dagangannya; dua keranjang besar yang dipenuhi puluhan buah sawo. Bayang-bayang pohon sudah lebih panjang dari dirinya sendiri. Jam dinding di sebuah toko yang baru saja dia lewati menggambarkan bahwa waktu beranjak senja. 14.28, tujuh jam lebih sejak kali pertama lelaki paruh baya itu menginjakkan kaki di seberang pintu rumahnya pagi tadi. Sesiang ini, tak satu buah sawo pun terjual. Dia menyusuri jalan-jalan memasuki liang-liang gang yang sempit dan didapati rumah-rumah penduduk sambil terus berteriak menjajakan dagangannya. “sawo….sawo….sawo….”
Tak seorang pun menyahut. Tak seorang pun memanggil untuk berhenti. Di gang sempit, orang-orang hanya memandang lelaki itu sekilas, seperi berkata pada diri mereka sendiri, “Oh, ada tukang sawo lewat.” Lalu kembali sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Seorang Ibu muda sedang menyuapi anak perempuannya. Pemuda gondrong sibuk mencuci motor barunya, anak-anak kecil berlarian sambil tertawa. Sementara lelaki itu, sang penjual sawo, terus berjalan menjemput rejeki yang entah bersembunyi dimana. “Sawo…sawo…sawo….” Dan masih saja tak seorang pun memanggilnya untuk berhenti sekedar tertarik pada pisang dagangannya.
Sementara detik-detik terus berguguran di sepanjang langkahnya yang berat, lelaki paruh baya penjual sawo mulai merasakan lapar yang melilit di perutnya. Ia berhenti sejenak di persimpangan jalan, tepat menghadap masjid yang sedang mengumandangkan adzan. Kemudian, lelaki penjual pisang menarik napas panjang, mengusap keringat, lantas meneruskan langkah ke muka masjid. Ashar telah tiba dan dia berniat mengistirahatkan tungkai kakinya yang lelah sambil menunaikan Ashar bagi Tuhannya.
Usai sholat, sang penjual pisang duduk di pelataran masjid menghadap keranjang dagangannya. Lapar masih melilit perutnya.
“Berapa sawonya?” suara berat seseorang memecahkan kristal lamunannya. Lelaki tambun dengan kantung plastik hitam di tangan kanannya.
“Eh, sekilo tujuh ribu, Pak.”
“Lima ribu, ya?” Lelaki penjual pisang berpikir sejenak. “Kalau enam ribu tidak apa-apa, Pak. Ambil saja. Kalau lima ribu belum bisa.” Dia tersenyum ramah.
“Ya sudah, saya beli dua kilo yang ini.” Lelaki tambun mengambil sawo pilihannya. Dengan cekatan, lelaki itu memasukkan dua kilo sawo ke dalam kantung plastik hitam. “Ini, Pak.” katanya setelah selesai.
“Ini uangnya, kembaliannya ambil saja.” kata lelaki tambun itu.
Penjual pisang berdebar. Sedetik napasnya tertahan.
“Wah, terima kasih banyak, pak. Semoga rezeki Bapak lancar dan dimudahkan…”
“Amin,” jawab lelaki tambun itu, pendek, sambil tersenyum lalu pergi.
Penjual sawo mengipas-kipaskan dua lembar uang sepuluh ribu rupiah di atas sawo dagangannya. Dia berharap uang itu bisa menular, semacam mantra, sihir pedagang yang bisa mengubah sawo jadi uang. Barang kali.
Tak pernah ada nestapa yang tak berkesudahan. Hidup selalu punya caranya untuk melubangi kebuntuan.
Lelaki penuh baya penjual pisang tiba di sebuah sudut perkampungan. Di sana beberapa pedagang sedang berkumpul; penjual mie ayam, gulali, dan buku-buku bekas. Dia segera bergabung seperti bertemu saudara sendiri. Mereka menyambut lelaki penjual sawo dengan penuh kehangatan dan keramaham.
“Sudah makan belum?” kata penjual mie ayam pada lelaki penjual sawo.
“Belum,” jawab lelaki penjual sawo singkat.
“Barter karo sawo sekilo, yo? Tak kasih semangkuk jumbo mie ayam spesial! Gimana?”
“Boleh…boleh…” kata lelaki penjual sawo antusias. Penjual mie ayam tersenyum mengacungkan jempolnya, mengangkat kedua alisnya.
07.39 selepas Isya’, lelaki penjual sawo sudah sampai di rumah kontrakan kecilnya. Anak-anak dan isterinya sudah menunggu untuk makan malam seadanya, tumis kangkung dan tempe goreng.
Istri dan anak mencium tangannya. Lelaki itu tersenyum.
“Bu, hari ini sawonya laku empat kilo. Yang satu kilo ditukar mie ayam dan satu kilo lagi ditukar komik. Ini uang untuk belanja besok.” Lelaki itu menyodorkan dua lembar ribuan dan selembar sepuluh ribu.
“Dan ini komik Naruto yang Fadhli pengen sejak dua bulan yang lalu bukan? Ini hadiah untuk Fadhli karena berhasil lulus SMP.” sambungnya sambil mengeluarkan dua komik itu.
“Makasih Pak. Tapi maaf, Fadhli belum bisa memberi Bapak hadiah atas usaha Bapak menjadi superhero untukku dan Ibu.” Dan Fadhli berlalu dengan tawa kecilnya.
Tiba-tiba. Bresss. Hujan turun dengan sangat derasnya. Menurunkan jutaan debit air tanpa jeda. Sontak, Fadhli bergegas keluar kamar untuk mengambil sepatu kumuh yang masih tertinggal di teras rumah. Namun langkahnya terhenti menemukan kedua orang tuanya bercakap di ruang tamu. Ia mendelik di samping meja kayu yang telah berusia belasan tahun itu.
“Bu, bagaimana dengan rencana kita untuk menyekolahkan Fadhli di tingkat SMA? Bapak sih pengen banget Fadhli bisa melanjutkan SMA nya di Pondok Pesantren Salafiyah Solo.”
“Tapi Pak, Ibu kurang setuju.”
“Kenapa Bu?”
“Pak, Pondok Pesantren itu mahal. Darimana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Hasil jual sawo saja hanya cukup untuk makan.”
“Kita berdo’a saja Bu, supaya dikasih rezeki yang cukup.” Sejak saat itu, keinginan dan tujuan Fadhli berubah. Kali ini, pikirannya benar-benar vacum.
Dengan tekat kuat, ia mendekati kedua orang tuanya. Ia menatap tajam sorot mata Bapak dan Ibunya.
“Ayah, Ibu, besok aku mau ke Solo. Aku mau mencari ilmu disana.” Ujar Fadhli dengan nada lirih. Kedua orang tuanya saling tatap seakan tak mengerti apa tujuan Fadhli kali ini. Mereka tampak terkejut.
“Kamu mau tinggal dimana? Sama siapa? Dan kamu mau sekolah dimana Dhli?” desak laki-laki rentang itu.
“Pak, tenanglah. Aku sudah cukup dewasa. Aku sudah 17 tahun. Aku akan baik-baik saja. ” Sahut Fadhli meyakinkan.
Malam kian larut. Hawa dingin semakin terasa. Bulan tidak terlihat. Hanya desah angin yang terdengar bergemuruh di kejauhan. Situasi ini membuat Fadhli harus memejamkan mata. Di bawah lampu pijar 10 watt yang terus menyala, Fadhli terhanyut dalam dekapan sang malam. Dan suasana kembali sunyi.
Menit berganti jam. Jam berganti hari. Itulah selayaknya waktu berjalan. Sembilan jam Fadhli mengarungi alam mimpi.
Pukul 05.30, kabut tebal masih menyelimuti pagi itu. Namun hal itu bukanlah penghalang bagi keluarga Fadhli untuk melakukan aktivitas seperti biasanya. Tapi hari ini tampak berbeda. Ayah yang biasanya bersiap dengan pisangnya, kali ini hanya duduk di teras rumah bersama Ibunya seusai menyiapkan sarapan. Dan Fadhli, ia masih tertahan di kamarnya bersama tas ransel hitam, 3 helai baju dan barang-barang lain yang akan ia bawa untuk menapakkan kakinya menuju Solo demi mencari sebongkang ilmu di Pondok Pesantren Salafiyah.
Selang 30 menit, Fadhli telah bersiap di depan pintu. Tersirat diwajahnya kekhawatiran khas seorang Ibu pada anaknya. Tiba-tiba Bapaknya menyodorkan uang Rp. 40.000 dan dua kantung plastic berisikan sawo padanya.
Di muka pintu, seolah ada yang tertahan. Fadhli berhenti sejenak sebelum pergi. Fadhli menengok ke arah ibunya, seolah-olah ingin meyakinkan padanya bahwa ia akan baik-baik saja. Ia tersenyum, lalu pergi.
Ia mulai menjejakkan kakinya di tanah yang basah. Dua hari sudah Fadhli berjalan dan menaiki bus kota. Nampaknya, ia harus bertanya dan bertanya kepada belasan orang yang ia temui di sepanjang perjalanan. Mencari dimana lokasi Pondok Pesantren Salafiah itu berada. Ia berjalan dengan penuh kepayahan, dan rasa letih itu sirna sesaat setelah menatap gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Dia berwarna hijau muda dan terkesan sebagai gedung peninggalan Belanda.
Fadhli berjalan melewati pintu masuk yang masih terbuka lebar. Sepi. Ia terus melangkah memasuki pekarangan Pondok. Di sebelah kiri pintu masuk terdapat madding yang dipasangi lampu. Di sana terlihat beragam info yang berkaitan dengan Pondok itu.  Tak tampak seorang pun di halaman tersebut. Tapi lampunya terlihat menyala. Pasti ada orang didalam. Ia mendekati sebuah ruangan.
“Assalamu’alaikum! Permisi!” setengah berteriak Fadhli mengucapkan salam.
Sesaat kemudian pintu terbuka. Seorang laki-laki berusia kira-kira 30 tahun keluar dari dalam pintu. Berbagai pertanyaan mulai ia lontarkan. Mereka memperkenalkan diri. Sekarang Fadhli tau lelaki itu adalah Kyai sekaligus Pengurus Pondok ini.
Mulai detik itulah Fadhli tinggal di Pondok itu tanpa biaya yang mengikatnya dengan syarat ia harus mendapat nilai baik, tidak melanggar peraturan pondok, dan dalam waktu 3 tahun ia harus mampu menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dengan sigap ia menerima persyaratan itu. Mengingat keadaan dan keinginan Bapaknya yang sudah mulai renta.
Namun, tak semudah itu Fadhli mampu melewati berbagai rintangan yang berada di hadapannya. Tak jarang ia harus mencari rongsokan untuk ia jual di tukang loak. Tak jarang pula ia memakan makanan sisa dari temannya dan tak jarang pula ia harus melakukan hal yang menurut orang lain menjijikkan. Hal yang tak pernah Fadhli lupakan.
“Dan sekarang? Kamu telah menjadi orang hebat.” kata Ainul mendengar keluh kesah masa lalu Fadhli yang telah panjang lebar ia ceritakan. Ia hanya membalasnya dengan senyuman.
“Sudah jam 07.30. Acara syukuran untuk memperingati keberhasilanmu hampir dimulai. Yah, keberhasilanmu dalam menghafal Al-Qur’an.”
“Aku hanya ingin menempatkan Ibu dan Ayahku di singgasana surga. Melihatnya tersenyum dan memakai mahkota. Itulah cita-citaku selama ini.” mereka saling tatap. Tiba-tiba
“Fadhli….” Suara berat seorang laki-laki dan perempuan paruh baya di belakangnya. Sontak, mereka menengok ke asal suara itu.
“Bapak, Ibu…” ujar Fadhli segera memeluk Ibu dan Bapaknya. Air bening mulai beranak sungai di pipi mereka. Perasaan haru menyelimuti loteng pagi itu.
“Ibu, Bapak, Fadhli baik-baik saja. Dan ini hadiah untuk Bapak dan Ibu yang telah aku janjikan tiga tahun yang lalu. Meskipun Bapak dan Ibu tak bisa menyentuh hadiah ini, tapi di akhirat nanti, aku ingin melihat Bapak dan Ibu tinggal di Istana, memakai mahkota dan tersenyum untukku.” terang Fadhli lagi.
“Terimakasih Nak. Kau telah membuat Bapak dan Ibu bangga padamu. Kau hebat.”
Mereka saling melempar senyum dan mulai meninggalkan tempat itu. Namun sebelumnya Fadhli terhenti dan menatap tajam wajah Ainul yang masih tertahan di tempat semula.
 “Ainul ingatlah. Kadang-kadang seseorang harus memulai hidup dengan cara yang kurang membahagiakan. Tetapi tugas kita adalah berjuang dan berusaha, menciptakan kebahagiaan kita sendiri hingga kita mendapatkannya. Jika kau terlahir dalam kemiskinan dan penderitaan, itu bukan salahmu. Tetapi jika kau mati dalam kemiskinan dan penderitaan, itu salahmu. Karena waktu tak pernah menyediakan kesia-siaan bagi mereka yang brjuang dan bekerja keras.”